Wartawan Garda Terdepan

Kongres PWI Diikuti 150 Peserta dan Peninjau

Sumsel Kirim 3 Peserta dan Puluhan Peninjau

PALEMBANG, SuaraSumselNews | WARTAWAN Indonesia wajib bekerja bagi kepentingan tanah air dan bangsa. Namun yang paling esensi adalah wartawan harus selalu ingat kepada kekuatan persatuan bangsa dan kedaulatan negara.

Ketua panitia pengarah Kongres XXIV Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ilham Bintang, mengatakan kondisi terakhir bangsa ini membutuhkan wartawan yang memahami dan mencintai tanah airnya.

“Dengan memahami masalah yang muncul, kita berharap agar wartawan Indonesia mampu memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa ini,” ujar Ilham, kemarin.

Karena itu penyelenggaraan Kongres XXIV PWI di Solo, kata Ilham, diharapkan dapat melahirkan wartawan-wartawan Indonesia yang mampu menjadi garda terdepan untuk memajukan bangsa ini.

Menurut dia, dipilihnya Solo sebagai tempat penyelenggaraan kongres tahun ini, merupakan isyarat kembalinya PWI ke khitahnya. Karena itu wajib bagi wartawan Indonesia bekerja untuk memperkuat kepentingan tanah air dan bangsa. “Itu artinya, wartawan dimaksud adalah orang Indonesia yang mengedepankan prinsip dasar cinta tanah air,” katanya.

Karena itu tugas pengganti Ketua PWI Margiono yang telah memimpin PWI selama dua periode secara bertutur-turut, tidak ringan. Dengan adanya sejumlah kandidat, Ilham berharap agar berbagi hal yang telah dicapai Margiono dapat dikembangkan. Bahkan harus dibubuhi dengan sejumlah program kreatif lainnya.

Para kandidat yang ikut meramaikan pemilihan ketua PWI baru dalam Kongres XXIV PWI itu antara lain, CH. Bangun (Kompas), Teguh Santosa (Kantor Berita politik RMOL), Sasongko Tedjo (Suara Merdeka), Atal S Depari (sportnews.com) dan Ahmad Munir dari Kantor Berita Antara.

Ilham menyatakan bahwa para kandidat harus menandatangani fakta integritas untuk tidak terlibat dalam politik uang untuk memenangkan ketua umum.  Yang paling prinsip bagi ketua umum adalah tidak membawa eksistensi PWI ke dalam aktifitas politik praktis.

Jika dalam proses pemilihan ketua umum PWI tidak dapat dicapai melalui musyawarah dan mufakat, katanya, akan dilakukan dengan cara pemilihan suara. “Ini kita lakukan sesuai PD/PRT dan kaidah kode etik jurnalistik,” ujar Ilham.

Menurut Ilham, PWI merupakan organisasi wartawan terbesar di tanah air. Dilahirkan 72 tahun lalu di Solo, 9 Februari 1946 lalu. PWI menyerukan kepada seluruh anggotanya untuk menegakkan pers kebangsaan yang independen, profesional dan berintegritas.

Tema itu, katanya, sangat relevan dengan tantangan Indonesia menghadapi hari depannya. Misalnya menghadapi dinamika demokratisasi menghadapi pileg (pemilihan legislatif), pemilihan presiden 2018 dan kemandirian bangsa di tengah globalisme.

Menghadapi dua kegiatan ini merupakan tantangan yang berdampak bagi gejolak ekonomi, memudarnya jati diri dan rongrongan mental korup bagi budaya bangsa yang semakin menjadi. Tantangan berat lainnya adalah proses hukum yang tak berkeadilan, tsunami informasi yang dipicu teknologi dan kecerdasan buatan.

Kongres kali ini akan diikuti 150 peserta dan peninjau. Selain pengurus harian PWI pusat kongres diikuti sejumlah pengurus PWI provinsi se-Indonesia serta pengurus PWI Surakarta dan peserta di luar keanggotaan PWI. Termasuk utusan PWI Sumsel, Octap Riadi, Firdaus Komar, Anwar Rasuan  dan puluhan peninjau. Misalnya Dewan Pers, Serikat Penerbit Surat Kabar, organisasi periklanan, radio, televisi, aliansi jurnalis dan organisasi pers nasional dari negeri tetangga Malaysia.

KIPRAH 10 TAHUN

Sejak berdiri tahun 1946, urutan ketua umum PWI era orde lama, orde baru, reformasi dan pascareformasi, Margiono tercatat sebagai ketua umum di urutan 14. Berikut para ketua umum PWI selama terbentuknya organisasi ini, Soemanang (1946 – 1947, 1949 – 1950), Usmar Ismail (Februari-November 1947), Djawoto (1950-1951, 1951-1952, 1961-1963), T Sjahril (1953-1955, 1955-1959, 1959-1961) Abdul Karim Daeng Patombong – A Karim DP (1963-1965), Mahbub Djunaidi (1965-1968-1970), BM Diah/Rosihan Anwar (1970-1973), Harmoko (1973-1978), Atang Ruswita (Maret 1983-Nopember 1983), Zoelharmans (1983-1988), M Soegeng Widjaja (1988-2003), Sofyan Lubis (1993-1998), Tarman Azzam (1998-2003, 2003-2008) dan Margiono (2008-2013, 2013-2018).

Sesuai PD/PRT PWI, sejak Zoelharmans mengatur bahwa ketua umum yang sudah menjabat selama dua periode secara berturut-turut, tak diperkenan mencalonkan diri kembali sebagai ketua umum. Karena itu Margiono dari Jawa Pos Grup  yang terpilih sebagai ketua umum di Kongres PWI Banda Aceh dan Kongres PWI Banjarmasin 2013 itu tak akan maju kembali.

Selama bertugas, Margiono menitikberatkan pada pendidikan, kompetensi dan profesionalisme wartawan. Program lokomotif itu berupa sekolah jurnalistik  kebudayaan (SJK), uji kompetisi wartawan (UKW).

Terkait peringatan  peringatan Hari Pers Nasional, ia meluncurkan piagam Palembang. Ia memberikan penghargaan kepada para wartawan berprestasi dalam bentuk press number one (PCNO), medali emas spirit jurnalisme, penerbitan ensiklopedi pers Indonesia danbuku-buku jurnalis, biografi dan seni budaya.

Yang paling fenomenal, Margiono mengajak para pemangku kepentingan pers tanah air, ikut merayakan HPN setiap 9 Februari sebagai momenum keberkahan pembangunan provinsi yang menjadi tuan rumah. (tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *