Menulis dan Membaca Puisi

Anto Narasoma

ADA yang berpandangan, penyair akan dinyatakan berkualitas apabila pandai membaca puisi yang ditulisnya. Apa benar?

Meski kemampuan itu sangat kita harapkan, namun menulis dan membaca puisi itu merupakan dua kutub yang berbeda.

Meski demikian kita berharap penulis puisi mampu untuk membaca puisinya dengan kandungan teknis bacaan yang memikat.

Secara teknis, teori menulis dan membaca itu sangat berbeda. Namun membaca puisi itu merupakan ruang penyampaian kandungan isi di dalam tipografi puisi.

Sedangkan menulis puisi adalah daya ungkap ide yang dilihat (dinikmati) dengan penyajian kreativitas (kemampuan) penyair. Karena itu di dalamnya ada nilai interpretasi yang dapat mengantarkan pembaca untuk menyampaikan isi puisi.

Dalam gambaran secara terbuka, kandungan puisi terdiri dari nilai rasa (feel), isi atau amanat (intention), kandungan arti (sense), dan nada kata-kata (tone).

Feel merupakan daya ungkap rasa. Sebab rasa itu menitikberatkan pada nilai fakta yang ditangkap oleh pikiran kita. Maka dengan cara yang kreatif, nilai rasa diungkap lewat kata pilihan (diksi) sehingga menjadi kalimat bermuatan estetika (bernilai seni : keindahan).

Dari poin per poin dalam diksi yang terangkai indah, mampu menyajikan arti (sense of poe). Di sinilah penyampaian amanat isi yang perlu disampaikan secara intensi, hingga tujuan ide awal dapat tersampaikan.

Karena itu, ketika puisi itu akan dibacakan secara emosi personal maka kita akan menemukan fakta bacaan secara imajinatif (imagery).

Sedangkan diksi pilihan, di dalamnya terkandung fakta konkret terkait kenyataan suasana di lapangan (the concrete word). Apabila kita pahami, kita akan mampu menyajikan bacaan dengan nada kata yang sesuai irama ucapan (rhythm and rime).

Meski membaca dan menulis puisi merupakan dua ruang berbeda, namun jika dipahami secara interpretatif, maka pembaca akan mampu menyampaikan isi puisi sesuai kaidah rasa dan nilai arti.

Karena itu secara analisis untuk memahami kita akan masuk ke lapisan tema, dan kemungkinan akan mampu menelaah dunia ide dari fakta awal sebagai bahan tulisan.

Karena itu hubungan ini terkait dengan pendekatan kejiwaan, pendekatan falsafah, serta pendekatan ekstrinsik dan intrinsik.

Namun penulis akan lebih akrab untuk mencoba melakukan pendekatan dari segi hakikat dan metode isi puisi.

Kemudian, apakah membaca puisi akan bersikap seperti itu? Namun yang pasti, untuk membaca puisi, kita memang harus memahami kaidah hakikat dan metode puisi.

Sebab dari analisis yang kita dalami, hakikatnya dapat mengarah ke pada nilai bacaan sebagai bahan isi yang berkualitas.

Penulis hanya menyajikan ide dan gagasan ke dalam karyanya. Karena itu tugas selanjutnya adalah membacakan.

Pertanyaan, apakah penulis harus mampu menyampaikan (membaca sebagai deklamator) pokok gagasan di dalam tulisannya ?

Belum tentu. Sebab penulis belum tentu bisa membaca tulisannya di panggung pertunjukan. Karena kedua momen merupakan ruang yang berbeda.

Menulis puisi merupakan prinsip dasar dari penyajian ide dan gagasan secara estetis. Sedangkan membaca puisi itu merupakan penyampaian pokok isi dari hasil himpunan pengalaman secara intensi (tujuan isi).

*Membaca Puisi*
Puisi merupakan tulisan sastra yang memiliki isi nada kata (rhythm and rime), imajinasi, dan yang paling menyusup ke dalam diri kita ialah rasa (feeling).

Karena itu secara apresiatif pembaca harus memahami ruang bacaannya, agar mampu menyampaikan isi dan tujuan pemaknaannya.

Dalam membaca puisi kita harus menggunakan nada yang tepat. Artinya dalam tiap penyampaian kalimat yang dibaca, perlu adanya pelafalan (daya ucap) yang jelas dan tegas.

Tinggi dan rendahnya nada bacaan itu sangat menentukan intonasi yang disampaikan. Karena nilai dasar dari prinsip bacaan itu disertai pengaturan emosi di dalam diri kita.

Seperti diungkap Willy Surendra (WS Rendra), membaca puisi itu bagian dari pertunjukan di atas panggung. Dalam konteks tersebut, kita harus mempersiapkan posisi untuk puisi yang kita baca.

Pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan andai kita mendapat kehormatan membaca puisi di hadapan pendengar ?

Kita mengetahui adanya penekanan kata dalam membaca puisi. Penekanan kata ini akan terasa ketika kita bicara dalam tinggi dan rendahnya nada ucapan.

Tinggi rendahnya nada secara intonasi, akan menjelaskan tentang bagian-bagian alur kalimat, sehingga pendekatan kejiwaan kita pada nilai bacaan, akan mampu tiba kepada isi dan tujuan puisi.

Sebelum kita membaca puisi, kita perlu memperhatikan pokok kalimat yang akan disampaikan. Misalnya melakukan penjedahan yang tepat, sehingga ketika kita menyampaikan pokok isi kepada pendengar, tujuannya akan sampai secara interpretatif.

Dalam kaitan ini akan tergambar secara jelas bagaimana ketika nada tinggi akan menggambarkan mimik pembaca yang memukau pendengar. Karena dari daya ucap (pelafalan) dan ekspresi wajah kita akan memberi kesan yang menggetarkan perasaan pendengar.

Ini yang menjadi tujuan dalam membaca puisi. Sebab sebelum kita membacakan puisi itu, hal pertama yang harus kita lakukan adalah memahami isi dan tujuan maknanya.

Dalam kaitan itu, yang tak kalah pentingnya adalah penyajian gestur tubuh. Andaikan kita mampu mengekspresikan gestur sesuai tuntutan bacaan, maka pendengar akan terpesona melihat kita membacakan puisi tersebut.

Meski intinya adalah membaca puisi, ada baiknya kita hafalkan terlebih dahulu dari tiap kalimat yang ada. Penghafalan ini akan membantu kita membaca puisi secara baik.

Jadi, kesimpulan dari semua itu harus ada kepercayaan diri yang tinggi. Sebab dengan kepercayaan diri yang tinggi, kita akan mampu menguasai teknik bacaan dan daya tampilan kita di atas panggung pementasan. (*)

*Palembang*
24 November 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *