Dana Transfer Anjlok, Diminta Pemprov Sumsel Kurangi Belanja tak Produktif

PALEMBANG, SuaraSumselNews – PEMPROV Sumatera Selatan diminta segera melakukan langkah efisiensi ekstrem menyusul turunnya Dana Transfer ke Daerah (TKD) dari pemerintah pusat untuk tahun anggaran 2026 yang anjlok hingga 40 persen. Penurunan ini disebut sebagai dampak dari pembayaran utang negara, defisit pendapatan, serta maraknya praktik korupsi yang telah menggerogoti keuangan negara lebih dari 20 persen.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Sumsel, Rahmadi Murwanto, mengungkapkan bahwa alokasi TKD Sumsel tahun 2026 turun 39,38 persen. Pemangkasan paling besar terjadi pada Dana Bagi Hasil (DBH) yang terpangkas hingga 71,7 persen, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik yang merosot 83,6 persen. Hanya DAK Nonfisik yang mengalami sedikit kenaikan, yaitu 2,6 persen.

“Penurunan ini harus disikapi dengan bijak. Pemerintah daerah perlu menyesuaikan prioritas anggaran dan memangkas kegiatan yang tidak mendesak serta biaya operasional yang tinggi,” ujar Rahmadi di Palembang, Senin kemarin (6/10).

Anggaran Nonprioritas Wajib Ditekan

Dampak pemotongan anggaran tersebut harus dijawab dengan kebijakan penghematan nyata. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota disarankan untuk meninjau ulang sejumlah pos pengeluaran yang dinilai boros dan kurang produktif, seperti Tunjangan Pendapatan Pegawai (TPP), gaji Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), operasional kantor dan perjalanan dinas, serta belanja hibah.

Selain itu, pengeluaran untuk pengurus Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dinilai terlalu besar juga perlu dipangkas, mengingat sebagian besar BUMD hanya bertahan dari bagian hasil migas dan minerba tanpa inovasi usaha yang berarti.

“BUMD yang tidak produktif harus dirampingkan. Banyak pengurusnya hanya membebani pendapatan usaha dengan gaji tinggi,” ujar salah satu pengamat kebijakan publik di Palembang.

Kebijakan Ekstrem Demi Kepentingan Rakyat

Situasi fiskal yang sulit menuntut keberanian pemerintah daerah untuk mengambil langkah ekstrem demi kepentingan masyarakat luas. Pengurangan anggaran belanja nonprioritas dinilai penting untuk mempertahankan daya tahan ekonomi masyarakat di tengah inflasi yang menekan lapisan bawah.

Pegawai negeri sipil (ASN) juga diharapkan dapat berempati terhadap kondisi ini. Pengurangan tunjangan kinerja dan jabatan dianggap sebagai bentuk solidaritas sosial serta wujud pelayanan publik yang sesungguhnya.

“ASN harus ikhlas mengencangkan ikat pinggang demi kepentingan masyarakat. Ini bukan sekadar penghematan, tetapi tanggung jawab moral,” lanjutnya.

TGUPP dan Pokir DPRD Jadi Sorotan

Salah satu pos anggaran yang juga disoroti publik adalah TGUPP, yang dinilai tidak sejalan dengan kebijakan efisiensi nasional di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Jumlah anggota TGUPP disarankan dikurangi hanya menjadi dua atau tiga orang saja, dengan gaji yang disesuaikan dengan pendapatan minimum masyarakat atau setara Upah Minimum Regional (UMR).

Sementara itu, belanja Pokok Pikiran (Pokir) DPRD diusulkan untuk ditiadakan sementara dalam beberapa tahun ke depan. Kebijakan ini dinilai penting karena Pokir kerap menjadi beban tambahan dalam struktur APBD, sementara aspirasi masyarakat telah terakomodasi melalui program pembangunan dan infrastruktur.

“Pokir seharusnya dihentikan sementara. Struktur APBD sudah cukup untuk menampung kebutuhan masyarakat tanpa harus menambah beban keuangan daerah,” tegasnya.

Fokus pada Efisiensi dan Ketahanan Daerah

Dengan proyeksi penurunan pendapatan hingga 40 persen, pemerintah daerah dituntut menata ulang prioritas pembangunan dan mengarahkan anggaran pada kebutuhan dasar masyarakat. Reformasi kebijakan anggaran perlu dilakukan secara transparan dan disiplin agar tidak terjadi stagnasi pembangunan maupun penurunan kualitas layanan publik.

“Ini saatnya pemerintah daerah menunjukkan keteladanan fiskal. Efisiensi bukan berarti berhenti membangun, tapi memastikan setiap rupiah benar-benar bermanfaat untuk rakyat,” tutup Rahmadi. (*)