Bupati Lahat Siap Bawa Kasus ke Pusat
LAHAT, SuaraSumselNews | SEPERTINYA ada ketegangan antara masyarakat dan perusahaan sawit di Kabupaten Lahat. Kali ini, sembilan desa yang berada di wilayah Kecamatan Kikim Tengah dan Kikim Barat secara tegas mendesak PT Sawit Mas Sejahtera (PT SMS) untuk memenuhi kewajiban penyediaan kebun plasma sebesar 20 persen dari total luas Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan.
Desakan ini disampaikan dalam forum mediasi terbuka yang digelar di ruang Opproom Pemkab Lahat pada Jumat kemarin (16/5). Mediasi tersebut mempertemukan perwakilan warga, pemerintah daerah, dan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) guna membahas konflik agraria yang sudah berlangsung sejak 2021.
Bostandi, Kepala Desa Jajaran Baru, menyuarakan kekecewaan warganya terhadap sikap PT SMS yang hingga kini belum menunaikan kewajiban menyediakan kebun plasma. Ia menegaskan bahwa kewajiban plasma seluas 20 persen dari HGU bukan sekadar janji, melainkan amanat regulasi yang wajib dilaksanakan.
“Kami tidak meminta lebih dari hak kami. Jika perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban itu, sebaiknya HGU tidak diperpanjang.
Biar lahan dikelola pemerintah untuk masyarakat,” tegas Bostandi di hadapan forum.
Sembilan desa yang melayangkan tuntutan tersebut adalah Jajaran Baru, Ulak Bandung, Jajaran Lama, Lubuk Seketi, Sukamerindu, Sukarami, Maspura, Tanjung Baru, dan Sungai Laru.
Mereka menyoroti indikasi bahwa PT SMS masih melakukan aktivitas replanting dan siap panen meski izin HGU diketahui telah berakhir pada 31 Desember 2023.
Tokoh masyarakat Desa Sungai Laru, Sukiman, turut melontarkan dugaan bahwa PT SMS memiliki sekitar 500 hektare lahan di luar wilayah HGU yang belum teridentifikasi secara resmi. “Kalau betul ada, harus dibuka dan diperiksa. Jangan sampai masyarakat dikorbankan,” ujarnya.
Menanggapi tuntutan warga, Bupati Lahat, Bursah Zarnubi, menyatakan akan mengambil langkah hukum dan membawa persoalan ini ke tingkat pusat. Ia mengimbau masyarakat agar tetap menempuh jalur yang sesuai hukum.
“Saya akan perjuangkan langsung di Jakarta. Tapi saya mohon warga tidak melakukan tindakan di luar prosedur. Kita ingin keadilan, tapi juga harus tertib hukum,” kata Bursah.
Dalam forum tersebut, perwakilan BPN menyatakan kesiapan mereka membantu menyelidiki legalitas lahan dan memastikan kewajiban plasma benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan.
Widya Ningsih, salah satu pendamping masyarakat, mengingatkan bahwa perjuangan warga harus dibarengi dengan langkah tertulis.
Ia menekankan pentingnya dokumentasi resmi agar pemerintah pusat dapat merespons secara konkret. “Kalau hanya disampaikan lisan, akan sulit ditindaklanjuti. Semua keluhan harus dituangkan dalam bentuk tertulis agar bisa masuk ke agenda nasional,” ujarnya.
Sesuai kebijakan terbaru dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, perusahaan yang memegang HGU wajib mengalokasikan minimal 20 persen dari total lahan untuk kebun plasma sebagai bentuk kemitraan sosial dengan masyarakat sekitar.
Kewajiban ini menjadi bagian dari prinsip keadilan agraria dan pemerataan kesejahteraan.
Hingga saat ini, masyarakat sembilan desa masih menunggu langkah konkret dari PT SMS. Jika tuntutan mereka tidak segera dipenuhi, bukan tidak mungkin gelombang protes akan terus bergulir hingga ke tingkat nasional. (se/*)




