Nenek Moyangnya Kabupaten OKI dari 2 Puyang Lampung dan Komering

HUT OKI ke 76 Secara Sederhana

KAYUAGUNG, SuaraSumselNews | HaRI Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) ke-76 tahun, nampaknya hanya digelar dengan secara sederhana.

Makanya tak banyak persiapan yang dilakukan pemerintah kabupaten OKI pada perayaan HUT kali ini. Dan juga
merupakan usia yang tidak lagi muda bagi kabupaten yang memiliki wilayah paling luas di Provinsi Sumatera Selatan yakni seluas 19.023,47 kilometer persegi.

Meskipun baru berusia 76 tahun menurut catatan pemerintahan Republik Indonesia, namun wilayah Ogan Komering Ilir sudah ada sejak zaman nenek moyang dan mulai terbentuk sistem pemerintahan sejak kesultanan Palembang.

Sehingga, kabupaten OKI menyimpan banyak cerita sejarah hingga akhirnya memproklamasikan diri sebagai wilayah kabupaten yang merdeka dan lepas dari belenggu penjajahan.

Media ini mencoba menggali informasi mengenai sejarah lahirnya Pemerintahan Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan OKI, Hj. Ariyanti S.STP menceritakan jauh sebelum masa penjajahan oleh Belanda hingga Jepang, sudah ada manusia yang menghuni wilayah Ogan Komering Ilir yang saat ini kita sebut sebagai nenek moyang (asal muasal).

“Dari buku sejarah daerah Ogan Komering Ilir disebutkan nenek moyang masyarakat Ogan Komering Ilir berasal dari 2 (dua)Puyang, yaitu Abung Bunga Mayang asal Lampung dan Puyang Raja Jungut (Komering),” terangnya saat dikonfirmasi, Minggu (10/10).

Diceritakan lebih lanjut oleh Ariyanti, pada mulanya, masyarakat Ogan Komering Ilir menghuni dusun-dusun sepanjang Sungai Komering dan Sungai Ogan.

“Kemudian, saat berdirinya sistem pemerintahan kesultanan Palembang, oleh Sultan Palembang, Kepala dusun di OKI diangkat sebagai Depati Raja,” ujarnya.

Selanjutnya, pada zaman pendudukan Belanda mulailah sistem pemerintahan mengalami perubahan di mana pada saat itu kepemimpinan setingkat kabupaten dalam bahasa Belanda disebut Afdeeling.

“Kemudian, pada era penjajahan Belanda, wilayah Kabupaten OKI termasuk ke dalam wilayah Keresidenan Sumatra Selatan dan Sub Keresidenan (Afdeling) Palembang dan Tanah Datar dengan ibu Kota Palembang,”

Dikatakannya kabupaten OKI juga mengalami pergantian sistem pemerintah berkali-kali sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat itu.

Seperti pada masa peralihan penjajahan Belanda berganti negara Jepang di Indonesia, Ogan Komering Ilir menjadi jalur pertahanan penting bagi tentara Jepang karena menjadi penghubung Palembang dan Lampung.

“Pada masa pendudukan Jepang, sistem pemerintahan di Ogan Komering Ilir terdiri dari Bun Syu Tjo (Bupati), Gun Tjo (Wedana), Fuku Gun Tjo (Pesirah), Sou Tjo (Pesirah), Ku Tjo (Kerio), Fura Ku Tjo (Pengawe),” katanya.

Dijelaskan Ariyanti, mengenai kemerdekaan Kabupaten OKI memang sedikit terlambat dibandingkan dengan waktu dikumandangkannya proklamai kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

“Saat itu, karena kesulitan akses informasi ditambah blokade informasi oleh pihak Jepang terhadap radio-radio penduduk,”

“Kabar kemerdekaan barulah sampai ke Bumi Bende Seguguk pada 20 Agustus 1945 namun kala itu Jepang masih berkuasa,” bebernya.

Meskipun terlambat mendapatkan kabar proklamasi kemerdekaan, tak menyurutkan semangat juang masyarakat Ogan Komering Ilir untuk ikut mendeklarasikan kemerdekaan wilayahnya dari jajahan asing.

“Nah akhirnya, atas mufakat para pejuang tepatnya pada tanggal 11 Oktober 1945 pukul 09.15 Bendera Merah Putih dikibarkan di atas kantor Bunsyu Tjo (Sebutan untuk bupati) kabupaten OKI,”

“Dan sejak saat itu lah, setiap tanggal 11 Oktober diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Ogan Komering Ilir,” pungkasnya.(tr/berbagai sumber)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *