Menggelar Kembali Tradisi Sanjo-sanjoan

Oleh : Anto Narasoma

Sanjo-sanjoan atau Umpak-umpak’an merupakan tradisi masyarakat Palembang dan sekitarnya. Jika di era tahun 1950-1990-an, tradisi ini sangat melekat dalam kehidupan masyarakat.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, tradisi itu jarang dilakukan. Apakah saat ini masih ada yang melakukan _sanjo-sanjoan_ atau _umpak-umpak’an_?

Ketua Forum Palembang Bangkit Sumafera Selatan (FPB Sumsel) Idham Rianom SSos, mengatakan dua tradisi masih dilakukan di beberapa lokasi saja. Misalnya di kawasan _wong Plembang_ tempat bermukimnya warga keturunan Arab di 7 Ulu, Jalan Ali Gathmir 13-14 Ilir, serta di wilayah Kelurahan 1 Ilir.

“Tradisi _sanjo-sanjoan_ atau _umpak-umpak’an_ merupakan kebiasaan yang baik bagi masyarakat Palembang. Ini mencerminkan nilai kebersamaan untuk saling menghargai dan merasa senasib sepenanggungan,” ujar Idham Rianom didampingi Sekretaris FPB Sumsel Idham Abubakar, Selasa (10/5/2022).

Tradisi _sanjo-sanjoan_ atau _umpak-umpak’an_ merupakan kebiasaan masyarakat Palembang untuk bertamu ke pihak keluarga, sahabat, serta bertamu ke rumah orang-orang gang dicintai. “Inilah mulianya cara bertamu yang mampu membangun semangat pihak keluarga,” kafanya.

Maka, di hari Lebaran Idul Fitri 1443 Hijriah inilah momen yang tepat untuk menggelar kembali tradisi _sanjo-sanjoan_ dan _umpak-umpak’an_ itu. Menurut Idham, tidak banyak anak-anak muda yang memahami secara harfiah tradisi _sanjo-sanjoan_ dan _umpak-umpak’an_ itu.

Apa yang membedakan tradisi _sanjo-sanjoan_ dan _umpak-umpak’an_ bagi masyarakat Palembang? Menurur Idham, memang ada pembedaan di antara keduanya.

Tradisi _sanjo-sanjoan_, katanya, dilakukan untuk bertamu ke pihak keluarga, teman, sahabat, atau handai taulan. Namun dilakukan dengan beberapa orang saja, misalnya, dengan istri, anak, atau teman dekat. ” ini tradisi yang mempererat tali silaturahim antarsesama kita,” ujarnya.

Sedangkan _umpak-umpak’an_, menyiratkan tradisi bertamu secara bergerombol. Misalnya, setelah salat Id bersama, kesepakatan jamaah salat untuk bertamu mendatangi rumah orang-orang yang terkait dalam salat bersama itu.

Dengan canda dan tawa gembira, para pesanjo akan bersalam-salaman, dan kepada yang lebih tua, mereka mencium tangan. “Inilah hebatnya tradisi _sanjo-sanjoan_ dan _umpak-umpak’an_ itu,” ujar Idham.

Sementara itu, dalam kunjungan ke istana Sultan Fawaz Prabu Diraja SMB IV SH MKn, tradisi _sanjo-sanjoan_ itu dilakukan dengan hikmat. Penasihat FPB Sumsel H Yunani Abuhasan, mengatakan tradisi ini sangat berkaitan dengan ajaran Islam. Sebab, kata Yunani, Islam mengajarkan untuk saling menguatkan tali silaturahim antarsesama.

“Secara filosofi, tradisi _sanjo-sanjoan_ dan _umpak-umpak’an_ itu merupakan tuntunan Rasulullah Muhammad SAW yang mengajarkan cara hidup yang saling memperhatikan antara satu dengan yang lainnya,” ujar Yunani.

Artinya, dalam kebersamaan yang dijalin, dapat saling membantu ketika bertamu ke tempat saudaranya yang dalam keadaan tidak mampu. “Inilah konsep kehidupan di dalam Islam yang lebih mengutamakan kebersamaan. Dari cara salat berjamaah, serta saling kunjung ketika ada teman atau keluarga yang sakit. Ini kita lakukan sesuai tuntunan Rasulullah,” kata Yunani.

Dalil-dalil kebersamaan itulah yang tercermin ke dalam sikap sosial cara bertamu ke pihak kekuarga dan para sahabat. Format _sanjo-sanjoan_ dan _umpak-umpak’an_ itu, katanya, dirintis dari nilai-nilai rasa memiliki yang ada di dalam diri kita. Karena itu, ketika konsepnya diaplikasi ke masyarakat, nilai kebersamaan dan saling menghargai antarsesama, dapat tercermin dalam konsep bertamu seperti itu. “Saya sangat mendukung konsep _sanjo-sanjoan_ dan _umpak-umpak’an_ itu,” ujar Yunani.

Terkait apa yang dikatakan H Yunani Hasan tersebut, penasihat FPB Sumsel lainnya, Kms Sofyan Abdullah, mengatakan konsep bertamu dengan cara _sanjo-sanjoan_ dan _umpak-umpak’an_ itu memang mempertimbangkan nilai rasa dan kemanusiaan.

“Rasulullah SAW mengajarkan kita agar memahami apa yang dirasakan orang lain di dalam cerminan hidup bersama. Apalagi ketika bertamu, kita melihat adanya warga yang tak mampu, tentu hati kita akan terpanggil untuk memberikan bantuan sesuai kapasitas yang ada di dalam diri kita,” ujar Sofyan.

Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, kata Sofyan, Islam memunculkan watak kebersamaan yang saling membantu. Maka timbullah tradisi _sanjo-sanjoan_ dan _umpak-umpak’an_ yang begitu semarak dan mengembirakan suasana hari raya Idul Fitri 1443 Hijriah.

Sementara itu, penasihat FPB Sumsel lainnya, Ahmad Fauzi, mengatakan tradisi _sanjo-sanjoan_ dan _umpak-_umpak’an_ itu merupakan tradisi lama yang harus dibangkitkan kembali.

“Kita jangan kehilangan tradisi _wong Plembang lamo_ yang sekarang sudah jarang dilakukan anak-anak muda saat ini,”katanya.

“Baik dilihat dan dirasakan secara filosofi keagamaan, tradisi ini sangat hebat kita lakukan. Selain bisa memperat kebersamaan, nilai kebaikannya dapat saling membantu dan meringankan beban saudara-saudara kita yang hidupnya susah,” kata Fauzi.

Tradisi _sanjo-sanjoan_ dan _umpak-umpak’an_ itu sudah jarang dilakukan meski masih ada di beberapa kampung yang melaksanakannya. Namun tidak semua wilayah di Palembang ini yang melakukannya. “Kalau saya menanyakan ke anak-anak, tahukah _umpak-umpak’an_ itu apa, mereka tidak mengetahuinya. Makanya saya setuju jika pengurus Forum Palembang Bangkit memasyarkatkan kembali tradisi _sanjo-sanjoan_ dan kegiatan _umpak-umpak’an_ tersebut,” ujar Ahmad Fauzi menutup pembicaraan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *