Penulis : Andy Nopiansyah
PALEMBANG, SuaraSumselNews | Memiliki tugas berat, tidak menjadi jaminan bahwa gaji lebih tinggi. Ini setidaknya yang dialami oleh satuan pengaman (Satpam) di salah satu kota ternama di indonesia. Apa lagi mereka berstatus sebagai karyawan outsourcing. Tenaga mereka di peras, tetapi bayaran yang mereka terima tidak sebanding dengan tenaganya.
Dengan menggunakan tenaga kerja outsorcing perusahaan diuntungkan. Mereka tidak perlu bersusah payah merekrut dan melatih si tenaga kerja. Efesiensi bisa dilakukan, apa bila pengguna outsorcing memungkinkan si karyawan bisa dipecat kapan saja. Jika perusahaan untung, lain halnya dengan karyawan buntung.
Bagi pekerja, praktik outsourcing ibarat perbudakan di jaman modern. Tenaga mereka dibayar dengan upah yang lebih rendah dari tenaga kerja tetap, status sebagai pegawai juga tidak jelas. Padahal meeka sudah habis habisan diperas oleh perusahaan yang menggaji mereka.
Undang undang memperbolehkan jasa pengamanan sebagai karyawan outsourcing ini, semakin menambah berat penderitaan para petugas keamanan. Dalam kaitannya dengan itu, semestinya undang undang tidak boleh diskriminasi. Diperlukan komitmen lebih besar untuk menghapus outsorcing secara total.
Seperti yang diutarakan AYP. S.P ( nama yang disamarkan ), seorang lulusan sajana namun harus menggeluti pekerjaan sebagai tenaga pengaman ( Security ) karena desakan kebutuhan sehari hari. Dirinya bekerja di salah satu perusahaan di wilayah tersebut. Dirinya sudah mengabdi lebih dari enam tahun lamanya, selama ini gaji yang diterima dirinya sebagai upah tenaga yang dikeluarkannya tidak sebanding dengan tanggung jawab yang diembannya. Namun apa daya dirinya tidak memiliki pilihan lain.
“setiap tahun gaji saya dan teman teman selalu telat, menyesuaikan dengan UMK yang baru. Seperti saat ini, disaat buruh setingkat pramu social yang sejatinya hanya honor kegiatan diperjuangkan mati matian dan sekarang sudah menikmati gaji yang besar, gaji baru sebagai pekerja profesi yang jauh diatas gaji UMK, gaji kami masih tetap saja memakai UMK,” padahal dulu sebelum adanya outsourcing saya berharap akan adanya secercah harapan dengan pengabdian saya yang akan saya berubah pengangkatan menjadi pegawai di kantor pemerintahan tersebut, tapi apa boleh buat kebijakan berkata lain.saya dan teman teman menerima kebijakan yang sudah ditentukan”katanya.
Pernah sewaktu seketika AYP. S.P menanyakan hal tersebut dengan atasannya. Tetapi jawabannya selalu sama dari waktu kewaktu. Kalau tidak terima, ya sudah keluar saja!” Sungguh jawaban yang sangat tidak menunjukan profesionalan kinerja sebagai pengampu kebijakan yang mengayomi dan bisa menjadi panutan, yang ada hanya arogansi rasa masa bodoh terhadap orang kecil seperti saya dan teman teman….”tambahnya.
AYP. S.P mengaku kalau dirinya dan teman temannya sehari bekerja selama 12 jam dengan tiga hari jadwal kerja. Pembagian waktu kerja sehari masuk pagi, dua hari masuk malam dan satu hari libur ( boleh dikatan bukan libur proses penggantian shiff ). Tidak sedikit dari mereka yang ketika berjaga malam dimalam hari hanya disediakan fasilitas seadannya, sederhana. Sementara mereka harus berhadapan dengan terpaan angin, panas, dan hujan sepanjang malam.
Dikota itu tercatat puluhan perusahaan jasa keamanan yang memiliki ratusan hingga ribuan petugas keamanan. Dengan modal yang sedikit, dan dengan ketersediaan tenaga satpam saja plus kong kalikong dengan pemilik perusahaan atau HRD, para pemilik perusahaan jasa keamanan ini senang dan Bahagia, Berbanding terbalik dengan nasib petugas satpamnya yang kadang mereka tidak disediakan tempat yang layak untuk pekerjaan yang diembannya.
Mengenai kinerja kerja satpan outsourcing, AYP. S.P, mengaku bahwa menjadi hal yang sangat logis ketika perusahaan satpam yang mengetahui bahwa hak haknya tidak di akomodasi secara menyeluruh oleh perusahaan, ditambah tidak ada perlindungan kerja yang pantas, menyebabkan orang tersebut menjadi tidak merasa perlu untuk bekerja secara optimal. Terlebih jika memang diterapkan ketentuan prestasi kerja mereka tidak dipertimbangkan untuk kenaikan posisi atau kenaikan upah.
Meskipun demikian AYP. S.P tidak setuju dengan anggapan seperti itu. Ia akan bekerja secara professional mungkin meski statusnya sebagai tenaga outsourcing. Entah sampai kapan, para pengampu kebijakan ataupun perushaan memperhatikan kesejahteraan dirinya dan juga teman temannya se profesi. Dan dirinya meyakini akan ada perubahan disuatu ketikan nanti.
Mengenal Outsourcing
Menurut Pengamat Hukum Willa Wahyuni pengamat dari Hukum Online tanggal 10 Juni 2022, Pekerja outsourcing adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan penyedia tenaga outsourcing dengan menerima upah atau imbalan yang kemudian oleh perusahaan penyedia tenaga outsourcing tersebut dialihkan kepada perusahaan kerja dengan perjanjian tertulis.
Pengaturan outsourcing tertuang di dalam Pasal 64 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan tentang suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Di dalam Pasal 1601 b KUHP, outsourcing disamakan dengan perjanjian pemborongan sehingga pengertian outsourcing adalah perjanjian dimana pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
Sementara itu pekerja outsourcing adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan penyedia tenaga outsourcing dengan menerima upah atau imbalan yang kemudian oleh perusahaan penyedia tenaga outsourcing tersebut dialihkan kepada perusahaan kerja dengan perjanjian tertulis.
Hal ini juga tertuang di dalam Pasal 1 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP.220/MEN/2007 tentang Syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, mengartikan pekerja/buruh sebagai setiap orang yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dalam pelaksanaannya, outsourcing melibatkan tiga pihak, yaitu perusahaan penyedia tenaga kerja outsourcing (vendor), perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing (user), dan tenaga kerja outsourcing itu sendiri.
Dalam menjalankan kegiatan outsourcing diperlukan sebuah regulasi yang jelas agar pihak-pihak yang terlibat tidak ada yang dirugikan khususnya tenaga kerja outsourcing itu sendiri.
Pekerja outsourcing adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan penyedia tenaga outsourcing dengan menerima upah atau imbalan yang kemudian oleh perusahaan penyedia tenaga outsourcing tersebut dialihkan kepada perusahaan kerja dengan perjanjian tertulis.
Outsourcing dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Outsourcing dapat dilaksanakan jika sudah ditandatangani suatu perjanjian antara pengguna jasa tenaga kerja dan penyedia jasa tenaga kerja melalui perjanjian pemborongan kerja atau penyediaan tenaga kerja dalam bentuk Perjanjian Kerja Sama (PKS) dan hal ini sekaligus yang mendasari adanya outsourcing.
Bagi perusahaan yang akan bergerak sebagai penyedia tenaga outsourcing, harus memenuhi berbagai persyaratan yang sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003, yaitu:
- Berbentuk badan hukum (Pasal 65 ayat (3)).
- Mampu memberikan perlindungan kerja dan syarat kerja yang sekurang-kurangnya sama dengan perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 65 ayat (4)).
- Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (Pasal 66 ayat (2)).
- Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (Pasal 66 ayat (2)).
Untuk menjadi hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha, maka harus ada hubungan hukum di antara keduanya. Hubungan kerja ini disepakati oleh kedua belah pihak dengan perjanjian kerja.
Perjanjian kerja akan menjadi dasar hukum dari hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja, karena di dalamnya telah disepakati hak dan kewajiban antara kedua pihak, dan untuk menjamin kepastiannya maka dituangkan dalam bentuk tertulis.
Pekerja outsourcing juga dilindungi dengan perlindungan kerja yang tertuang di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan berlaku tidak hanya bagi pekerja outsourcing, namun juga pekerja.buruh tetap atau kontrak.
Menurut Aye Sudarto dalam jurnalnya Tenaga Kerja Outsourcing Dalam Tinjauan Hukum Islam
Mengatakan kalau “. Setiap manusia berhak mendapatkan hak dan perlakuan yang sama antara manusia yang satu dengan manusia lainnya, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nahl ayat 90”jelasnya.
Berdasarkan ayat di atas Allah SWT telah memerintahkan secara jelas tentang pentingnya berlaku adil kepada sesama manusia dan melarang untuk melakukan kedzaliman di muka bumi, khususnya kedzaliman terhadap manusia lainnya dengan cara mengabaikan hak-hak yang seharusnya diperoleh oleh orang lain. Oleh karena itu, Allah SWT melaknat seseorang yang tidak berlaku adil kepada sesama manusia dan tidak memberikan hak yang seharusnya didapat oleh orang lain.
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri. Menurut bahasa (etimologi), ijarah/sewa-menyewa berarti Al-iwadl yang artinya ganti dan upah (imbalan).
Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunah, al ijarah berasal dari kata al-ajru (upah) yang berarti al-iwadh (ganti/kompensasi). Menurut pengertian syara‟ ijarah berarti akad pemindahan hak guna dari barang atau jasa yang diikuti dengan pembayaran upah atau biaya sewa tanpa disertai dengan perpindahan hak milik.
Ulama hanafiyah berpendapat ijarah adalah akad atau suatu kemanfaatan dengan pengganti. Sedangkan ulama Syafi‟iyahberpendapat bahwa ijarah adalah akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu. Adapun ulama Malikiyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa ijarah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
Menurut fatwa DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Ijarah, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna(manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Dengan demikian akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan pada penyewa.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik pengertian bahwa Ijarah adalah suatu jenis perikatan atau perjanjian yang bertujuan mengambil manfaat suatu benda yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar upah sesuai dengan perjanjian dan kerelaan kedua belah pihak dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan.
Dengan demikian Ijarah itu adalah suatu bentuk muamalah yang melibatkan dua belah pihak, yaitu penyewa sebagai orang yang memberikan barang yang dapat dimanfaatkan kepada si penyewa untuk diambil manfaatnya dengan penggantian atau tukaran yang telah ditentukan oleh syara‟ tanpa diakhiri dengan kepemilikan.
Juga dalam artian, Ijarah adalah: memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak apabila transaksi tersebut berhubungan dengan seorang ajir, maka yang dimafaatkan adalah tenaganya. Untuk mengontrak seorang ajir kudu ditentukan bentuk kerjanya, waktu, upah serta tenaganya.
Pakar-pakar keilmuan dan cendekiawan sepanjang sejarah di seluruh negeri telah sepakat akan legitimasi ijarah. Dari beberapa nash yang ada, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah itu disyari’atkan dalam Islam, karena pada dasarnya manusia senantiasa terbentur pada keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, manusia antara yang satu dengan yang lain selalu terikat dan saling membutuhkan.
Ijarah (sewa menyewa) merupakan salah satu aplikasi keterbatasan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Bila dilihat uraian diatas, rasanya mustahil manusia bisa berkecukupan hidup tanpa berijarah dengan manusia. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa pada dasarnya ijarah itu adalah salah satu bentuk aktivitas antara dua pihak atau saling meringankan, serta termasuk salah satu bentuk tolong menolong yang diajarkan agama.
Menurut Pengamat Hukum Suwito Winoto S.H Ketua DPD Ferari Sum Sel mengatakan.
Regulatif sebagai payung hukum bagi pekerja dan pengusaha pada tingkatan filosofis mengandung aspek hak yang bersifat mendasar yang harus diperhatikan oleh masing-masing pihak, seperti non diskriminatif, pengupahan sesuai standar minimum, jaminan sosial tenaga kerja, dan kewajiban melaksanakan pekerjaan sesuai perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, selain itu memperhatikan asas no pay, no work. Jika hal tersebut diperhatikan bersama oleh kedua belah pihak, maka hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha akan tercipta suatu suasana yang kondusif, dan pada gilirannya tidak menutup kemungkinan terciptanya hubungan kemitraan dilingkungan perusahaan, baik skala lokal,regional, maupun global.
Suasana keprihatinan akan timbul, jika para pihak kurang memperhatikan hal tersebut di atas, yakni memelihara ketertiban, ketentraman, dan terciptanya kemitraan, maka yang timbul suasana yang tidak kondusif, seperti adanya aksi unjuk rasa pekerja serta mogok kerja secara bersama-sama. Kondisi demikian tidak menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Salah satu dari sekian persoalan yang mewarnai perselisihan para pihak, yakni pekerja dengan pengusaha adanya lembaga outsourcing, yang dianggap sangat merugikan kepentingan para pekerja. Konstruksi hukum lembaga outsourcing, perusahaan pengguna jasa/ pemberi kerja menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa atau pemborongan pekerjaan dengan pola perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT),2 atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
Model ini memposisikan pekerja sebagai sarana produksi, tanpa memiliki daya untuk melakukan bargaining power (selama tenaga dibutuhkan, maka pekerja tetap dipertahankan untuk pekerjaan tertentu).
Pada dasarnya lembaga outsourcing diciptakan sebagai wadah bagi pekerja yang dikualifikasikan sebagai tenaga penunjang (kontrak lepas), di mana konstruksi ini dibangun guna membantu keberadaan perusahaan dengan persyaratan tertentu, yaitu rekrutmen (pekerja) melalui perusahaan penyedia jasa/ pemborongan pekerjaan yang berbadan hukum, kegiatan penunjang ini tidak langsung bersentuhan dengan proses produksi serta tidak menghambat proses produksi.
Adapun kegiatan penunjang antara lain, penyediaan angkutan pekerja, satuan pengaman (security), penyediaan makanan (catering), pelayanan kebersihan (cleaning service), juru taman. Penyerahan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi/ pengguna kerja kepada pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa dibuat perjanjian secara tertulis, namun demikian timbul persoalan dalam menafsirkan Pasal 66 (2) huruf (a) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, bahwa dalam jasa penunjang harus memenuhi syarat adanya hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja.
Sebaliknya, jika memperhatikan Pasal 1 (15), syarat dalam hubungan kerja harus memenuhi aspek perintah, pekerjaan, serta upah.4 Sehingga, menurut konstruksi hukum Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang No. 2003, jika tidak memenuhi syarat tersebut, maka tidak dapat dikatakan adanya hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa atau pemborongan pekerjaan dengan para pekerja. Dengan demikian tidak ada pula perjanjian antara perusahaan pemberi kerja dengan penyedia jasa/ pemborongan pekerjaan. Tidak konsistensinya ketentuan pasal yang satu dengan pasal lainnya menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama menyangkut keberadaan pekerja sebagai kaum marginal.
Sebaliknya ketentuan dalam Pasal 66 (2) huruf (a) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, memberikan ruang kebebasan kepada perusahaan pemberi pekerjaan melalui pemanfaatan pemborongan pekerjaan. Hal ini secara tidak langsung menghidupkan human-traffiking atau perbudakan modern.
Abi Wira Pratomo, S.H,. M.H
Istilah buruh sejak dulu diidentikkan dengan pekerja kasar, pendidikan dan penghasilan yang rendah pula. Bahkan, pada zaman kolonial terdapat istilah kuli, mandor atau semacamnya, yang menempatkan pekerja pada posisi yang lemah di bawah pengusaha, padahal keberadaan pekerja sangatlah penting artinya bagi kelangsungan perusahaan.
Batasan pengertian Hukum Ketenagakerjaan, yang dulu disebut Hukum Perpekerjaan atau arbeidrechts juga sama dengan pengertian hukum itu sendiri, yakni masih beragam sesuai dengan sudut pandang masing-masing ahli hukum. Tidak satupun batasan pengertian itu dapat memuaskan karena masing-masing ahli hukum memiliki alasan tersendiri. Hampir seluruhnya melihat hukum ketenagakerjaan dari berbagai sudut pandang yang berbeda, akibatnya pengertian yang dibuatnya tentu berbeda.
outsourcing, pada dasarnya secara dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk hubungan kerja yang tidak ada hubungan organisatoris antara organisasi dengan pekerja karena secara resmi pekerja adalah tetap pekerja dari perusahaan outsourcing.
Gaji pekerja tersebut dibayarkan oleh perusahaan outsourcing setelah pihaknya memperoleh pembayaran dari perusahaan pemakai tenaga kerja, tentu dengan melalui pemotongan oleh perusahaan outsourcing.
Adapun perintah kerja walaupun sejatinya diberikan oleh perusahaan pemakai tenaga, akan tetapi resminya juga diberikan oleh perusahaan outsourcing, dan biasanya perintah itu diberikan dalam bentuk paket.
Kebanyakan dari tenaga kerja outsourcing ini adalah professional dibidangnya, muda dalam usia, dan mempunyai semangat kerja yang baik. Kekurangannya adalah karena tidak mempunyai kesempatan dan tidak mempunyai hubungan khusus dengan para penentu kebijaksanaan perusahaan.
Dalam perkembangan dunia usaha saat ini, mempekerjakan tenaga kerja dalam ikatan kerja outsourcing sedang menjadi trend atau model bagi perusahaan, baik itu perusahaan milik negara maupun perusahaan milik swasta.
Banyak perusahaan outsourcing yakni perusahaan yang bergerak dibidang penyediaan tenaga kerja aktif menawarkan ke perusahaan-perusahaan pemberi kerja, sehingga perusahaan yang memerlukan tenaga kerja tidak perlu susah-susah mencari, menyeleksi dan melatih tenaga kerja yang dibutuhkan.
Menyikapi perkembangan tersebut, maka timbul pertanyaan apakah yang menjadi dasar pertimbangan suatu perusahaan dalam menggunakan tenaga outsourcing, dan selanjutnya bagaimana suatu perusahaan pengguna jasa tenaga outsourcing dalam menjamin hak-hak pekerjaoutsourcing, tentunya Hukum Ketenagakerjaan perlu menjawab kebutuhan dan perkembangan tersebut.