Siaga Asap Jelang Asian Games
PALEMBANG, SuaraSumselNews- BERBAGAI upaya telah dilakukan pemerintah agar kebakaran tak terulang. Misalnya, meningkatkan anggaran penanggulangan dan pencegahan kebakaran.
Buktinya, pendanaan besar yang disiapkan, kurun waktu 1 tahun terakhir adalah program “Siaga asap jelang Asian Games” tak membuat Sumsel lepas dari ancaman kebakaran hutan dan lahan.
Pada bulan Juli ini saja dari tanggal 1-19 Juli 2018, telah muncul 303 titik api di Sumsel. Sama halnya dengan bencana asap di tahun-tahun sebelumya. Jumlah 156 titik api masih di wilayah konsesi perusahaan atau sejumlah 51,5% dari total titik api di bulan ini.
Mungkin masih lemahnya penegakan hukum terhadap perusahaan. Termasuk pola pikir yang masih menyalahkan masyarakat lokal sebagai pelaku kebakaran. Hal itu merupakan pola pikir yang kuno atau jalan ditempat. Sedikitpun tak mengalami perubahan kemajuan dalam penyelesaian kebakaran hutan dan lahan khususnya di Sumatera Selatan.
Bahkan titik api yang beberapa hari lalu ditemukan di konsesi HGU PT Rambang Agro Kecamatan Pedamaran (OKI) oleh pemerintah daerah maupun pihak kepolisian dengan turun langsung meninjau di lokasi kebakaran, tidak ada upaya lanjut yang tegas.
Upaya yang semestinya dilakukan pemerintah atau pihak kepolisian adalah memberikan sanksi-sanksi tegas kepada perusahaan. Karena sangat jelas titik api ditemukan secara langsung di wilayah izin yang dikuasai oleh perusahaan dimaksud.
Ya seharusnya diberlakukan pada seluruh perusahaan yang secara nyata dan jelas terdapat kebakaran di areal izin yang mereka kuasai. Baik disengaja atau tidak, tanpa pandang bulu dan pembuktian. Seperti tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Karena terbukti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak mampu melindungi dan mengelola lingkungan hidup.
Kewajiban ini juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan pasal 67 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Setiap Pelaku Usaha Perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.”
Bahwa dalam aspek pencegahan, saat ini pemerintahan hanya memiliki sistem pengawasan dan peringatan yang berfokus pada masyarakat dinilai tidak tepat. Porsi besar seharusnya diberlakukan kepada perusahaan-perusahaan yang rakus ruang, yang selama ini selalu terbukti terpantau munculnya (terdapat) titik api.
Tidak adanya sistem pengawasan seperti pantauan wilayah gambut yang rentan terbakar, terutama wilayah gambut lindung kedalaman 3 meter yang telah dibebankan dengan izin perkebunan sawit maupun akasia atau ekaliptus. Sistem pengawasan dan pemantauan di wilayah izin perusahaan, seharusnya terbuka untuk masyarakat.
Karena selama ini banyak perusahaan yang tertutup. Kondisi seperti ini membuat perusahaan bebas dari pengawasan serta tertutupnya informasi dan akses masyarakat yang ingin melakukan pemantauan. Peran dan fungsi pemerintah daerah seharusnya tegas, terutama dalam pemantauan lingkungan yang seharusnya dilakukan secara rutin dan berkala.
Utamanya, di wilayah-wilayah izin konsesi perusahaan yang selama ini rentan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pemantauan lingkungan tersebut juga harus terbuka di sampaikan kepada masyarakat yang selama ini menjadi korban terpapar asap dan kerusakan lingkungan.
Maksudnya, agar masyarakat mengetahui masa depan lingkungan hidupnya. Jika tidak dilakukan dengan demikian, maka kasus yang sama akan terus terjadi dan masyarakat tidak memiliki kejelasan akan keberlanjutan lingkungan hidup. (rill)