PALEMBANG- Kecenderungan Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri di beberapa negara berkembang, termasuk di Indonesia. KLB Difteri adalah ditemukannya minimal satu kasus Difteri klinis di suatu wilayah kabupaten/ kota, sedangkan untuk Sumsel sendiri belum ditemukan kasus tersebut, hal ini disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumsel, Lesty Nurainy Apt M.Kes, Kamis (14/12/2017) di ruang rapat Dinas Kesehatanan Sumsel.
Ia menjelaskan, Difteri merupakan penyakit yang sangat menular dan disebabkan oleh kuman Corynebacterium diptheriae yang menyerang faring, laring atau tonsil. Difteri menimbulkan gejala dan tanda berupa demam + 38º C, munculnya pseudomembran di tenggorokan yang berwarna putih keabu-abuan dan tak mudah lepas serta mudah berdarah, sakit waktu menelan, serta leher membengkak seperti leher sapi (bullneck,) akibat pembengkakan kelenjar getah bening di leher. Selain itu terjadi pula sesak nafas disertai suara mendengkur (stridor).
“Bakteri penyebab Difteri mengeluarkan toxin (racun) yang mengakibatkan komplikasi berupa miokarditis (peradangan dinding jantung), kelumpuhan susunan syaraf tepi dan pusat, serta gagal ginjal. Kematian dapat terjadi karena sumbatan jalan nafas, akibat lapisan tebal di tenggorokan. Toxin yang dihasilkan bakteri ini dapat menyebabkan kematian karena menimbulkan kerusakan sel syaraf yang mengatur pernafasan atau merusak otot jantung. Untuk pengobatan diberikan antibiotika dan antitoxin ADS (Anti Difteri Serum),” jelasnya.
Menurutnya untuk pencegahan utama Difteri adalah imunisasi dan Indonesia telah melaksanakan Program imunisasi, termasuk imunisasi Difteri dan hal tersebut sudah dilakukan sejak lebih 5 dasa warsa yang lalu.
“Vaksin untuk imunisasi Difteri ada 3 jenis, yaitu : vaksin DPT-HB-Hib, vaksin DT, dan vaksin Td yang diberikan pada usia berbeda. Imunisasi Difteri diberikan melalui Imunisasi Dasar pada bayi (di bawah 1 tahun) sebanyak 3 dosis vaksin DPT-HB-Hib dengan jarak 1 bulan. Selanjutnya, diberikan Imunisasi Lanjutan (booster) pada anak umur 18 bulan sebanyak 1 dosis vaksin DPT-HB-Hib; pada anak sekolah tingkat dasar kelas-1 diberikan 1 dosis vaksin DT, lalu pada murid kelas-2 diberikan 1 dosis vaksin Td, kemudian pada murid kelas-5 diberikan 1 dosis vaksin Td. Sedangkan, pada wanita usia subur (calon pengantin dan ibu hamil) diberikan 1 dosis vaksin Td atau bila status imunisasinya tidak lengkap diberikan 2 dosis vaksin Td dengan jarak 1 bulan,” ujarnya.
Keberhasilan pencegahan Difteri dengan imunisasi sangat ditentukan oleh cakupan imunisasi, yaitu minimal 95%. Selain itu, kualitas vaksin dan kualitas rantai dingin harus baik, dan cara pemberian vaksin harus tepat dan benar.
Menurutnya, munculnya KLB Difteri dapat terkait dengan adanya immunity gap, yaitu kesenjangan atau kekosongan kekebalan di kalangan penduduk di suatu daerah. Kekosongan kekebalan ini terjadi akibat adanya akumulasi kelompok yang rentan terhadap Difteri, karena kelompok ini tidak mendapat imunisasi atau tidak lengkap imunisasinya. Akhir-akhir ini, di beberapa daerah di Indonesia, muncul penolakan terhadap imunisasi. Penolakan ini merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya cakupan imunisasi. Cakupan imunisasi yang tinggi dan kualitas layanan imunisasi yang baik sangat menentukan keberhasilan pencegahan berbagai penyakit menular, termasuk Difteri.
Munculnya KLB Difteri juga dapat terjadi karena berkurangnya populasi bakteri Difteri di lingkungan. Adanya bakteri Difteri di lingkungan bermanfaat untuk memberikan booster kekebalan secara alamiah. Akan tetapi, booster kekebalan alamiah dapat terjadi pada seseorang jika orang tersebut pernah mendapat imunisasi dasar sebelumnya. WHO menganjurkan agar dilakukan imunisasi ulang dengan vaksin Td setiap 10 tahun. Pemerintah sedang mempersiapkan pemberian imunisasi ulang ini untuk mencegah munculnya KLB Difteri di masa mendatang.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi mengharapkan kerjasama semuanya untuk menghadapi wabah difteri ini. Ia menjelaskan untuk penularan penyakit ini sangat mudah yakni melalui droplet atau percikkan ludah, saat batuk atau bersin, kontak langsung dengan permukaan kulit, atau kontak dengan benda-benda yang terkena kuman Difteri.
Menurutnya, Puskesmas sebagai garda terdepan, harus terus mengecek cakupan imunisasi.
“Puskesmas sebagai garda terdepan, harus mengecek cakupan imunisasi warga di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya, pastikan semua anak-anak sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap, maupun imunisasi tambahan sesuai jadwal umurnya, tentunya masing-masing keluarga lebih efektif jika ikut cek hal ini,” tegasnya.
Jika ada bias atau imunisasi yg dilakukan oleh puskes, agar warga lebih kooperatif, “Pesan untuk tenaga kesehatan sendiri agar melakukan vaksinasi sesuai prosedur, juga menjaga rantai dingin vaksin dengan baik agar vaksin terjaga kualitasnya,” himbaunya. (asri)